Rabu, 19 Mei 2010

tentang maia estianty


PRESTASI MEROSOT TAJAM GARA-GARA PACARAN

Pentolan Duo maia ini tengah naik daun. Bahkan single nya Teman Tapi Mesra, yang dibawakan oleh formasi baru Ratu, berhasil mendapat double platinum. Kisah hidupnya ternyata begitu unik dan menarik.

KLIK - Detail Untuk bisa menjadi musisi seperti sekarang ini, aku sudah mulai merintisnya sejak kecil. Aku, Maia Estiyanti, anak ke-5 dari 6 bersaudara yang lahir di Surabaya, 27 Januari 1977, sudah memiliki sifat ambisius yang sangat besar sejak kecil. Saking ambisiusnya, aku enggak pernah mau kalah dengan teman-temanku yang lain, termasuk saat ikut berbagai perlombaan.

Di masa kecil itu, aku sering ikut berbagai lomba dalam acara 17 Agustusan, misalnya saja balap karung. Perlombaan apa pun kuikuti karena aku yakin banget pasti akan menang. Namun, aku sportif, kok. Kalau pun harus mengalami kekalahan, ya enggak apa-apa. Yang pasti aku akan terus mencobanya lagi sampai menang.

Tahu enggak, aku juga termasuk galak dan sangar. Bahkan, aku sudah galak sejak masuk TK. Di hari pertama masuk, aku sudah mengajak teman sekolahku berantem. Sebenarnya pertengkaran itu terjadi gara-gara sahabatku diganggu dan didorong-dorong kepalanya oleh teman laki-lakiku. Sebagai teman baik, aku enggak terima sahabatku diperlakukan begitu. Akhirnya teman cowokku itu aku tonjok saja.

Sifat galakku terus berlanjut ketika aku masuk SD Katolik Yohanes Gabriel Surabaya. Kata Ibu, Kusthini, waktu SD itu aku pernah bikin bocor kepala teman sekolahku gara-gara kulempar dengan sebuah benda yang aku lupa. Aku memang lupa kapan peristiwa itu terjadi. Ibu bilang, gara-gara kejadian itu, orang tuaku sampai dipanggil kepala sekolah.

KLIK - Detail BAKAT ISTIMEWA

Orang tua, pasangan Ir. Harjono dan Kusthini, mendidikku dengan cukup keras dan disiplin. Waktu aku dan kelima saudaraku masih kecil-kecil, Ibu mendidik kami untuk bagi-bagi tugas pekerjaan rumah. Waktu aku TK memang keluarga kami punya pembantu, tapi setelah itu tidak lagi. Semua pekerjaan rumah Ibu alihkan kepada kami yang semuanya perempuan. Mulai dari mencuci baju, ngepel lantai, dan mencuci piring sudah pernah aku jalani.

Dibandingkan dengan saudara-saudaraku yang lain, aku termasuk anak yang paling cuek. Karena kecuekanku ini, Ibu pernah sampai menangis lo. Ceritanya, marching band pimpinanku sudah langganan jadi juara di Surabaya. Lalu, kami ikut lomba marching band se-Indonesia. Ibu mengantarku ke Jakarta. Ternyata aku berhasil meraih juara satu mayoret. Namun demikian, aku tetap saja cuek sama Ibu. Mungkin Ibu menangis karena sakit hati melihat sikapku.

Belakangan, sifat cuekku ini menurun kepada anakku yang nomor dua, Muhammad El Jalaluddin Rumi (6). Dia enggak bisa dipeluk-peluk. Istilahnya mau dipegang saja susah banget. Ibuku juga merasa, El enggak bisa dipeluk dan dicium. Ibu pun sadar, sifat cuekku sudah menurun ke cucunya.

Oh ya, di antara kelima saudaraku, kakak sulungku punya sifat yang sama denganku yaitu: sama-sama ambisius. Dia juga enggak mau kalah di segala bidang. Tapi, banyak positifnya, kok. Di sekolah, kakak selalu jadi bintang kelas. Aku pun berpikir, kalau dia bisa, kenapa aku tidak. Aku harus bisa membuktikan bahwa aku juga bisa juara seperti dia. Itu sebabnya, prestasi sekolahku juga menonjol.

Aku juga menonjol di bidang seni. Sejak kecil aku sudah bisa main musik lo. Waktu itu, aku sudah mengusai piano. Tanpa kusadari, saat guruku melatih marching band, tak jarang aku ikut menyumbang ide soal nada-nada lagu yang pas dimainkan. Kala itu, aku memang sudah mulai bisa mengaransemen lagu.

Itu sebabnya, kata guru-guruku, aku termasuk murid yang memiliki bakat istimewa. Pernyataan ini kutemukan di buku tahunan SD. Mereka menulis tentang anak-anak berprestasi di sekolah di buku itu dan aku termasuk di dalamnya.

KLIK - DetailIKUT LOMBA MODEL
Selulus SD, aku masuk ke SMP Negeri 1 Surabaya, yang termasuk sekolah favorit. Prestasiku, masih saja di atas rata-rata. Aku selalu masuk jajaran murid-murid the best ten di kelas. Selain prestasi sekolah, aku juga menonjol di bidang lain. Aku, kan, termasuk enggak bisa diam. Aku mulai ikut lomba-lomba model. Nah, salah satu perstasiku di dunia model, aku berhasil menang di ajang Model Aneka Yess tahun 1990.

Selain itu, aku juga sering ikut lomba model di Surabaya. Pernah juga jadi Juara 1 Putri Matahari dan sempat menuai protes banyak orang. Pasalnya, usiaku masih terbilang masih sangat kecil untuk menjadi juara. Sejak itulah tawaran untuk menjadi model lokal mulai membanjiri diriku.

Prestasiku yang selalu berada di urutan paling depan, tiba-tiba harus kandas saat aku naik ke SMA. Nilaiku merosot tajam karena aku sudah mulai pacaran sejak kelas 3 SMP dengan teman lain sekolah. Nilaiku semakin hancur saat SMA karena pacarku jadi satu sekolah denganku.

Ayahku yang biasanya melihatku juara kelas, tiba-tiba kaget saat tahu aku mendapat ranking 28. Tentu saja orang tua marah besar. Mereka pun membuat banyak larangan. Mulai dari enggak boleh pacaran sampai pulang larur malam. Di sisi lain, aku sudah mulai berontak pada orang tua.

Pemberontakanku dimulai saat aku bekerja di sebuah radio di Surabaya, radio yang membolehkan anak SMP atau SMA bekerja di sana. Berhubung bekerja di dunia yang erat dengan musik, aku mulai sering nongkrong dan pergi ke dugem. Aku pun aku mulai belajar jadi DJ musik. Ayahku juga mulai melarang aku nge-DJ.

Semakin dilarang, pemberontakanku semakin menjadi. Aku mulai berpikir untuk lepas dari rumah dan ingin hidup sendiri. Denga tegas kukatakan rencanaku pada Ayah. Akhirnya, Ayah membolehkan aku keluar dari rumah, asalkan aku harus masuk perguruan tinggi negeri.


DAPAT LAGU CINTA
Dengan keyakinan yang tinggi, tamat SMA aku ikut UMPTN. Aku mendaftar ke Universitas Indonesia Jurusan Sastra Belanda. Aku pun diterima. Sesuai janjinya, Ayah mengizinkan aku sekolah di Jakarta. Aku kos di kawasan Depok, dekat dengan kampus. Rupanya aku salah jurusan. Ako bosan kuliah di Sastra. Setahun kemudian, aku ikut UMPTN lagi. Aku lolos lagi dan diterima di Jurusan Komunikasi UI.

KLIK - Detail Saat itu aku mulai tetap menjadi backing vocal grup Dewa yang dibentuk oleh Ahmad Dhani yang kini menjadi suamiku. Oh ya, kenapa aku bisa berpacaran dengan Dhani, ceritanya juga cukup seru. Sebenarnya perkenalanku dengan Dhani sudah dimulai sejak usiaku 14 tahun dan duduk di kelas 2 SMP.

Ceritanya saat aku ulang tahun, sahabatku mengajak Dhani ke rumahku. Sahabatku tahu, aku bisa main piano. Dia menunjukkan padaku seseorang yang juga jago piano. Ia menyarankan agar aku mau belajar dan bertukar ilmu dengan Dhani. Sejak itu Dhani mulai sering main ke rumah.

Meski sering bertemu, aku belum naksir Dhani. Padahal Dhani sudah bilang suka sama aku dan rajin memberi kaset-kaset love songs. Aku, sih, menganggapnya teman biasa. Setahun kemudian, aku juga pacaran dengan cowok lain. Setelah berpacaran selama 2,5 tahun, kami putus.

Setelah itu, saat aku kelas 2 SMA, dengan cueknya aku langsung mengajak Dhani untuk pacaran. Aku tahu, kok, Dhani memang sudah lama ingin jadi pacarku. Proses pacaranku dengan Dhani cukup cepat, karena kami sudah saling kenal sejak lama.

Lantas kenapa aku sempat menolak cinta Dhani? Waktu pertama kenal dia, aku memang enggak suka. Menurutku dia tengil banget. Namun, lama-kelamaan aku jadi suka dengan sikap pede-nya yang tinggi. Iya lo, sikap pede Dhani sejuta kali dari orang biasanya. Awalnya aku merasa aneh juga. Tapi, apa yang menjadi keyakinannya yang selalu diucapkan dengan rasa pede tinggi itu, bisa terbukti semua. Hal itulah yang bikin aku jadi suka sama Dhani.

PACARAN BACKSTREET
Sayang, orang tua enggak pernah menyetujui aku berpacaran dengan Dhani, bahkan ketika Dhani sudah jadi musisi. Banyak faktor kenapa Ayahku enggak suka pada Dhani. Antara lain, karena profesi Dhani yang jadi musisi itulah. Selain itu, Dhani hanya tamatan SMA, dan latar belakang keluarga yang tak disukai keluargaku. Ayahku, kan, rektor ITS yang selalu mementingkan pendidikan. Ayah menganggap, orang yang bertitel sarjana itu lebih bisa menjadi hidup.

KLIK - Detail Dalam hal ini, prinsipku berseberangan dengan Ayah. Aku, kan, sudah dekat betul dengan dunia musik yang tidak terlalu mementingkan titel seseorang. Aku juga beranggapan, bukan sekolah yang bisa menjadi hidup seseorang.

Tak ada jalan lain, aku dan Dhani sempat berpacaran backstreet. Aku tetap dengan pendirianku untuk berpacaran dengan Dani, tapi aku juga takut ketahuan orang tua. Setelah tiga tahun pacaran, kami berniat untuk menikah.

Sebelum memutuskan menikah, aku banyak bertanya kepada para kiai. Mereka bilang, "Kamu lebih baik menikah karena kamu dan Dhani satu iman. Menikah adalah ibadah, kenapa mesti takut menjalani. Kalau begitu, yang dosa orang tua kamu dong."

Begitulah, kusampaikan niat ini pada orang tua. Buntutnya, Ayah marah besar. Seumur hidupku, itulah pertama kali Ayah marah besar padaku. Maaf, ada hal yang enggak bisa kuceritakan yang membuat Ayah semarah itu. Ah, aku merasa berdosa karena menentang orang tua.


6 komentar:

  1. semua punya cerita dengan uniknya masing - masing :D

    BalasHapus
  2. Masih banyak cerita yg lebih seru dan mengenaskan. So, introspeksi diri lebih baik kenapa ini semua terjadi.

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus